Senin, 16 Mei 2011

Mengintip :  

Markas Besar 
"ALCATRAZ"
(Tertawa bersama itu sehat. Maka berbagilah kebahagiaan agar orang lain tertawa bersamamu)


 1. Selamat Pagi.
 2. Tiga Dara.
 3. Onta Masuk Alcatraz.
 4. Ksatria Sejati.
 5. Geger.
 6. Kotak Ajaib Harta Karun -
     Jenghis Khan.
 7. Kraton.
 8. Mbakyu Sumbul.
 9. Kitab Wasiat.
10. Awas Cerek Panas.
11. Sriwedari.
                                                             12. Gendul Kopi.
                                                             13. Que Sera Sera. 
                                                             14. Rumah Buku
                                                                            
Cuplikan :


Kang Paino, bapak muda dari satu isteri dan dua anak itu memang ramah, bahkan kadang kelewat ramah. Apalagi kalau dengan para wanita. Para pembatik. Lebih-lebih kalau dengan mbakyu Sumbul. Wanitu termuda diantara para pembatik. Dapat dimengerti, karena mbakyu Sumbul, perawan dari desa sebelah Selatan Kota Sala itu, masih muda belia, mempunyai paras ayu, meski badannya gemuk, tak jadi soal, malah membuatnya tampak segar. Rambutnya yang lebat, hitam dan panjang seperti bintang film India, sering kali hanya digelung sekenanya, dan agar tak lepas ditusuk dengan sumpit mie ayam bekas pakai. Entah telah dicuci atau belum. Dan  kulitnya putih bersih, seperti lumpia basah. Oh tidak. Kata Endhutwati Si Toples Roti , mbakyu Sumbul itu, ibarat kue, ia adalah kue mangkuk warna merah jambu dari pasar Gede. Ayu, merekah sempurna, dan pipinya menul-menul. Semua setuju.
Dari pak Lurah-lah akhirnya Onta, Upit, Cungkring, dan Endhut tahu, kalau kang Paino amat menyukai mbakyu Sumbul. Salam manis-pun sering kali dikirimkan, dengan pak Lurah sebagai kurirnya. Namun beribu-ribu salam manis itu tak pernah satupun yang diterima dengan baik oleh mbakyu Sumbul.
“Oalaaaaaah….mbok ya ingat anak isteri di desa”.
“Tidak salam manis-salam manisan. Bikin sakit gula”.
“Ora sudiiiiii………….”.
“Assss …… embooooooh……..”.
Begitulah berbagai macam jawaban mbakyu Sumbul, setiap kali pak Lurah menyampaikan titipan salam kang Paino. Meski jawaban-jawaban  sengak itu sering kali ditumpahkan pada pak Lurah, tak sekalipun ia sampaikan pada kang Paino. Kalau kang Paino bertanya apakah salamnya telah disampaikan, pak Lurah selalu menjawab : “Sudah kang”.
Dan  kalau  kang Paino bertanya : “Lalu apa jawaban diajeng Sumbul ?”.
Pak Lurahpun menjawab : “Mbakyu Sumbul hanya mesam-mesem kang”.
Lalu kang Paino pun berkata : “Matur nuwun yo nang ……”.
Pak Lurah menjawab : “Sama-sama kang….”.
Ada kesenangan tersendiri bagi pak Lurah, bisa menyampaikan salam kang Paino pada mbakyu Sumbul. Kiranya kesenangan itu terletak pada reaksi makyu Sumbul dan  beraneka macam tanggapan yang kadang sengaknya melebihi sambel lombok goreng, atau kadang meledak-ledak seperti bom-bom Israel di Gaza, atau kadang pura-pura tak mendengar,  wajahnya njabrut dan gelap gulita. Namun ketika mbah Parti membuka gulungan kertas kecil, dan mengumumkan yang mendapat arisan minggu ini adalah Sumbul, maka wajahnya kontan berubah menjadi terang-benderang, bening cling, dan kalau kang Paino melihat betapa cantiknya mbakyu Sumbul ketika mendengar kabar mendapat arisan, ia tentu tak  bisa tidur tujuh hari tujuh malam, terbayang-bayang wajah si pembatik ayu itu, diajeng Sumbul-nya.
Lama-lama mbakyu Sumbul jengkel juga pada pak Lurah. Sama jengkelnya dengan kang Paino. Pak Lurah tak terima, dibentak, dipleroki, dijabruti, oleh mbakyu Sumbul. Ia hanya sekedar menyampaikan. Akhirnya ia ceriterakan kejengkelannya pada Onta, pada Upit, Cungkring dan Endhut. Otak Onta berputar cepat, digelar rapat, dimusyawarahkan, dan akhirnya diputuskan. Melakukan pembalasan. Pelaksanaannya besuk siang, sepulang sekolah.                                                                
Nah sehari setelah itu, disiang yang telah ditentukan, mereka bermain-main di pabrik batik milik abah Said, ayah si Onta. Suasana sedang tenang-tenangnya. Seperti nampak biasa-biasa saja. Padahal tidak. Siang itu bakal menjadi siang yang tak biasa. Istimewa buat mbakyu Sumbul, yang seringkali menyemprotkan kata-kata sengaknya, sesengak sambel lombok goreng, pada pak Lurah.  
“Mbakyu Sumbul dapat salam dari kang Paino”, dengan tiba-tiba pak Lurah nyeletuk. Mbakyu Sumbul pura-pura tuli. Tak ada reaksi. Umpan tak termakan. Pak Lurah tak kehabisan akal.
“Kang Painoooo salam manis dari mbakyu Sumbuuuuul”, teriak pak Lurah lantang, agar kang Paino yang ada di ruang dalam mendengar. Dapat dibayangkan pastilah hidungnya kembang-kempis, matanya berbinar-binar, kulitnya mengencang, sehingga kang Paino akan terlihat 10 tahun lebih muda.
Dan kebalikannya, mbakyu Sumbul yang sejak tadi mati-matian menahan amarahnya, kini tak tertahan lagi. Bagai gunung berapi yang menyemburkan awan panasnya. 
“Kurang ajjjaaaaar………”, teriaknya, sambil kontan berdiri, berkacak pinggang, pekerjaan membatiknya terabaikan.  
Inilah saat yang tepat. Upit, Cungkring, Endhut, Onta dan pak Lurah  berdiri berderet, bergaya bak Elfa’s Singers, tak jauh dari para pembatik.
“Satu – dua – tiga”, pak Lurah memberi aba-aba.
Dan serempak kelima anak itu menyanyikan lagu dolanan yang diplesetkan oleh pak Lurah menjadi :
“ndok iyik … ndok erok, sing mbatik entuk sing ngerok….”, mereka langsung berbalik dan lariiiiii. Segalanya telah diperhitungkan dengan cermat. Dan tepat. Karena bersamaan dengan balik badan, sebuah bakiak melayang mencari sasaran. Begitulah kalau mbakyu Sumbul kehabisan  kesabaran. Dan mbah Parti-pun berteriak-teriak.
“Sumbuuul…….heee bakiakku…..”, mbah Parti si pemilik bakiak marah-marah.
“Jengkel aku, mbaaah…..”, mbakyu Sumbul gedrug-gedrug.  Wajahnya memerah. Kepalanya manggut-manggut. Amarahnya telah sampai di ubun-ubun, puncak tertinggi dari keseluruhan badannya.
Sementara anak-anak mengintip dari balik regol, jauh di halaman, menikmati jerih payahnya, tingkah-polah mbakyu Sumbul yang lagi kacau  hatinya. Dan ketika suasana mulai reda, tenang, anak-anakpun mengendap-endap lagi, menyusuri pagar yang penuh dengan tanaman, hingga tubuh-tubuh mungil mereka terlindungi dari pandangan. Tak butuh waktu lama mereka telah berada di belakang para pembatik, tanpa diundang, tanpa jemputan, bahkan tanpa diketaui orang. Dan tiba-tiba……………
“Ndok iyik…..ndok erok. Sing mbatik entuk sing ngerok ……....”.
Kali ini mereka melagukan lebih keras, lebih kompak, lebih menggoda, lalu ……..ngaciiiiir……...
             “Haaaa…ha….haaaha………haaahaa……”, seluruh pekerja di pabrik batik itu terawa terbahak-bahak. Mbah Parti menghentikan tembangnya. Tertawa juga. Terpingkal-pingkal.
              Dan mbakyu Sumbul ngamuk, berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Garang. Lalu tubuh gemuknya bagai diguncang gempa 7 skala Richter, terhuyung-huyung dan runtuh, terduduk. Dingklik kecil yang telah berjasa menyangga patatnya sekian lama, dilemparkan, melayang di udara, menghalau anak-anak.
             “Bah…..abah Said….. ini lho baaah, anak-anaaaak………….”, mbakyu Sumbul berteriak-teriak mengadu pada abah Said, sambil mewek-mewek. Air matanya berjatuhan, seperti  hujan dimusim ini.
             Mendengar nama abah Said disebut-sebut, Upit, Cungkring, Endhut, Onta dan pak Lurah yang telah mulai mengendap-endap di balik tanaman, mengurungkan niatnya, lari tunggang-langgang. Gawat. Bila kasusnya sampai ke Mahkamah Agung. Amat gawat.
            Mereka tak menyangka, ternyata peristiwa setahun lalu itu masih melekat erat dikepala mbakyu Sumbul. Dan nyata sekali dari ucapan sengitnya saat menyambut mereka,  hatinya masih luka. Menganga.
(Ndok iyik, ndok erok, sing mbatik entuk sing ngerok.  Ndok iyik adalah sebutan untuk capung kecil. Sedangkan ndok erok adalah capung yang badannya besar. Dan sing mbatik entuk sing ngerok, secara bebas dapat diartikan  yang membatik bejodoh dengan tukang kerok).

........... sepenggal mimpi telah terselesaikan : sebuah novel inspiratif anak, Markas Besar "ALCATRAZ".

Selasa, 22 Februari 2011

SOLO or SALA 

Lho..... !!!! Kok SOLO.......  Yang diucapkan dengan lafal O sempurna, seperti kita mengucap : bakso. Mengapa tidak diucapkan seperti kita menyebut kata : Sukoharjo, atau Purwokerto. Padahal menurut sejarahnya, sebutan kota Solo/Sala (yang mana?) berasal dari nama sebuah desa yang bernama desa Sala, yang menjadi cikal bakal kota/kerajaan Surakarta Hadiningrat, dengan penguasanya yang disebut Kyai Sala. Dan konon, kata sala berasal dari nama tumbuhan yang disebut pohon Sala. (ditulis dengan aksara Jawa sa dan la nglegeno). Bukan Solo. (yang bila ditulis dengan aksara Jawa, sa dan la menggunakan taling tarung).    
Bisa jadi, kesalahan pengucapan dikarenakan cara penulisan yang menggunakan huruf O. Tapi bila cara penulisan menggunakan huruf A, dapat pula menimbulkan salah ucap, menjadi SALA (seperti kita mengucap : Jakarta) Sama saja. Dengan demikian cara penulisan tak bisa dipersalahkan, karena huruf Jawa dan huruf alfabet memang berbeda.
Namun demikian kapan bergesernya kata 'sala' (diucapkan seperti : sukoharjo, purwokerto) menjadi 'solo' (diucapkan seperti : bakso), tak ada yang tahu jelas. Sebutan Kota Solo lebih umum dan terkenal dari pada Kota Sala .Sepertinya  mana yang benar dan mana yang salah, untuk saat ini tak jadi soal. Karena sepertinya bukan masalah benar dan salah, melainka umum dan tidak umum.Karena yang tidak benar kadang malah umum atau lebih dikenal, dan yang benar malah tidak umum atau tidak dikenal. Dan jadinya : salah  kaprah, bener malah ora lumrah.
Dibeberapa dekade yang lalu, mudah untuk membedakan mana orang Solo/Sala asli, dengan orang daerah/ diluar kota Solo/Sala. Bagi orang dalam kota akan menyebut kota 'Sala', sesuai dengan sejarah asal muasalnya, sedangkan bagi orang luar daerah akan menyebut kota 'Solo', sesuai dengan cara penulisannya.Namun kini, hampir semua orang menyebutnya Kota Solo. Begitu juga orang-orang penduduk aslinya. Dan yang jelas : andai Kyai Sala masih hidup kini, beliau bakal mencak-mencak dan protes keras jika namanya diubah menjadi Kyai Solo. Aku kira begitu.